Senin, 26 Juli 2010

PROPAGANDA TEATRIKAL JALAN ( Bisakah Kita Bernafas Tanpa Televisi,Meski Dalam Sehari Saja )

Wahana Media adalah wahana celaka 24 jam, mengerubungi relung juga sela kehidupan kita, setiap sendi sendi waktu yang berputar terasa terlewatkan dan hambar tanpa menengadahkan kita ke layar besar televisi yang indah.

Menatap serta memelototi acara tidak berguna, yang sebagian besar berpotensi mencegah kreativitas dan motivasi diri kita sendiri, ketika hidangan fantasi menidurkan anda dalam mononitas dan semu kehidupan, di titik inilah kita akan enggan beranjak menelaah realitas hidup yang sebenarnya.
Bayangkan dan bayangkan, lau nikmatilah adiksi yang menjelma dalam kursi ruang tamu,kursi kamar pribadi,kursi nyaman yang hadir di setiap pojokkan warung-warung kopi,kursi anggota DPR bahkan kursi Presiden sekalipun.

tak pelak atas nama komersialitas dan kalkulasi anggaran pendapatan, acara tengik yang tak layak diperlihatkan pada waktunya, mulai membabati regulasi yang ditetapkan oleh LSI ( Lembaga Survey Indonesia ), Pornografi untuk cilik kini rela menyerahkan kuasa untuk keperluan rating, tepat sekali bagi kemajuan bangsa Indonesia. Kekerasan dan acar tanpa fakta alias cuap cuap mengambang banyak berjejalan untuk membuat kepintaran bibit bangsa ,agar betah di rumah dan bahkan menikmati kebobrokan langsung dari keluarga terdekat terlebih dahulu.

Ah, mari nikmati acara demi acara di televisiku tersayang, duduk dengan manis sambil mencicipi makanan ringan sampai nanti malam.. dan juga esok hari.

( Riyadhus Shalihin )

Jumat, 18 Juni 2010

SLEEP'S HOLY MOUNTAIN ( 1992 )

Salah satu band yang tertinggal dan terpendam dalam kuburan klasifika musik dunia, karena memang mereka tidak terkenal dan tidak banyak orang yang mengerti betapa indahnya musik yang mereka bawakan.
Band ini mengusung aliran heavy drone rock, atau rock mengalun yang membius, band ini terbentuk oleh al Cisneros pada bass dan vocal, Matt Pike pada guitar dan Chris hakius pada drum.

mereka mengeluarkan album yang menurut saya merupakan album mereka yang paling monumental dan di luar ekspektasi album mereka yang sebelumnya, yaitu sleep,s holy mountain yang keluar pada tahun 1992 di Eropa dan pada tahun 1993 di Amerika melalui label Earache, dengan beberapa lagu seperti dragonaut,from beyond ataupun aquarian, mereka menjadi band yang walaupun hanya berpersonil tiga orang namun mampu membius dan membuat kuping kalian menggerinda dan mendengung, komposisi gerinda bass yang mengalun pelan mendayu namun menyakitkan, diselingi dengan alunan nyanyian tidak penting seperti berujar dan memanggil-manggil tidak jelas, drum yang berdentum berat, pelan, mengawang terbata bata, sungguh menggangu dan aneh, berbagai tema lagu yang meliputinya pun bercerita tentang mahkluk air, gunung berapi, dedaunan cannabis ataupun dedaunan dewa.

Mereka telah membuktikan bahwa doom rock ataupun stoner rock tetap berjaya meskipun di kala itu dunia tengah terkena demam musik trash metal, tapi tiga orang autis dari san jose California ini tidak peduli dan ternyata karena kegigihan mereka, mereka pun menjadi band abadi yang “ dingin, berat, panas dan everlasting “.

Jika al cineros dan chris hakius membuat sebuah band doom tibetian chant bernama Om, namun matt pike sepertinya mulai bosan terus berkutat dengan dunia doom rock saja, maka dia pun mengajak beberapa teman lamannya dan membuat High On Fire yang lebih mengarah kepada british classic wave metal, chris hakius sendiri kini sudah keluar dari om dan posisi drum di Om diganti oleh emil amos dari band Grails.

Band yang sangat memuja Black Sabbath dan Saint vitus ini memang sudah lama bubar namun mereka tetap tidak pernah masuk dalam hitungan salah satu band legendaris ataupun band yang patut dikenang, mereka tetap akan dihina oleh berbagai tetek bengek busuk kritikus musik, namun mereka akan tetap dipuja dipuja oleh orang yang percaya bahwa kebisingan dan kehingar bingaran bisa tercipta dan lebih menyayat melalui musik yang berat, pelan dan dalam, seperti ucapan salah satu vokalis legendaris rock Indonesia Arian 13 mengatakan dalam salah satu jurnalnya
“ mendengarakan lagu-lagu sleep seperti menenggak cannabis dalam keadaan tinggi di dalam lava mengepul yang menggelegak”.

THE MORNING AFTER (( Another day like today ))

Sejenak coba terhanyut dalam package yang ditawarkan oleh salah satu band yang terlahir dari “ la lights indiefest “ ini , ehm, mereka berhasil meruntuhkan beberapa persepsi saya sebelumnya, perkiraan saya mereka adalah band “ one hit wonder “ yang hanya mengandalkan single pertama mereka dulu, yaitu “ quatro “ saja, tapi ternyata persepsi saya buyar dan hancur seketika, bahkan mereka meneduhkan saya sekaligus di saat yang sama, karena setelah mendengarkan keseluruhan track yang mereka tawarkan, saya justru bertahan dan aha! ternyata sudah satu album habis saya dengarkan, akhirnya saya putar ulang kembali keseluruhan album another day like today yang ternyata sangat menyenangkan ini.

Seakan dibawa ke alam cerah yang hangat dan dipaksa tidur di padang rumput musim semi sambil tersenyum menatap teh hangat yang menemani namun
tetap terjaga dan tidak tertidur, tertegun diam stagnan tapi riak hati dibuat berdentam bersemangat, coba dengarkan track #1 sejenak membuat terlarut dalam part gitar yang mengalun, Kevin Shields My Bloody Valentine jelas sekali memberikan arwah dalam riff gitar lagu ini, lalu di blend dengan tegasnya tempo gitar James Lha Smashing Pumpkins era labum Adore ataupun seperti sebagian keringnya nyawa butterfly with butterfly wings memberkati racikan gitar, mengiringi dan menyempurnakan keindahan lagu #1, akhirnya sayapun benar benar jatuh cinta pada lagu ini apalagi di akhir lagu ini terdapat part menyatunya vocal dan melodi gitar yang merepetisi, membalur suara basah vocal yang damai, sendu namun membahana, tak terperi seperti mengambang namun tegap, mengawang namun teguh.

Drama dari morning after tidak berakhir sampai di situ saja, era keemasan tempo tantrum ala Ride yang pernah Bertampuk di tanah Britania tercermin di track “ dengarkan dan diam “, anggunnya tahun 90 seperti menyeruak resah bersamaan dengan hilangnya Kevin James dari Manic Street Preachers, tidak terlalu gloomy seperti track Morning After yang lainnya namun kali ini heroik dan menyelamatkan dahaga yang butuh meditasi, renyah dan persuasif ala trust The Cure yang ditimpa oleh sensibilitas elektrik Prodigy era “ Fat Of The Land “, menghentak gahar namun sopan dan teratur.

Andaikan saja saya bisa menjadi salah satu bagian dari mereka, saya akan memberanikan diri menawarkan eksplorasi dengan beberapa sisipan elastisitas pop rumitnya Pink Floyd di album The Wall atau rayuan noise yang menggoda namun berfikirnya Washing Machine dari Sonic Youth, saya kira mereka akan menjadi lebih berbahaya, mewah dan unpredictable, Ya akan ada dua sisi nada yang bersinggungan dan pasti akan menghilangkan beberapa fans mereka yang sudah terlanjur mengikuti mereka dari awal dengan format “ blend neo brit wave tempo, French Swedish fresh pop “. Hah, komposisi album yang indah nan santun ini akan terus berputar di playlist para neo hipster menemani mereka menjelang hari minggu pagi berjalan ke taman kota

ORISINALITAS D.I.Y YANG SEMAKIN RANCU

Awal keresahan
Term D.I.Y ( do it yourself ) dipopulerkan sejak tahun 90, bermula dari geliat keresahan anak muda Bandung yang mulai risih dengan berbagai macam penolakan industri musik mainstream yang tidak bisa menerima kontemporasi musik yang mereka usung, jengah dengan berbagai deskriditas media yang menganggap mereka nyeleneh serta memicingkan mata sambil menyeringai dan menyepelekan.
A little bit urban creativity founder ( Helvi )
Helvi adalah founder dan owner records independent ternama ( FFWD & FF CUTS ) yang aktif memproduksi band band multiprestasi seperti Mocca,Homogenic,Teenage Death Star, juga sebagai gitaris garage roll punk slebor anti zaman Teenage Death Star, founder dan owner dari Airplane Clothing dan Eleven Clothing, produser dari acara SubStereo yang kini merupakan acara dengan rating tertinggi di radio Oz Bandung, Cover Designer Burgerkill,Wong,Pas Band,Netral dan Nudist Island. Sutradara dari videoklip Pas Band,Cokelat dan Rocket Rockers. Mungkin akan menjadi suatu makalah bila harus membahas semua kontribusi Helvi dalam mencerdaskan subsersiv dunia independent yang kini ternyata semakin ambigu.
Helvi jeli menangkap geliat dan riak anak muda Bandung yang sangat produktif namun belum ada yang bisa mewadahi dan memfasilitasi mereka, maka terciptalah Reverse yang bertempat di Jalan Suka Senang sebagai embrio awal dari cikal bakal komunitas yang kini telah menjadi masif dan sell-out.
Reverse berperan ganda selain sebagai sebuah studio yang sangat kooperatif dalam men support band lokal yang ingin rekaman atau membuat demo, di studio ini lah tercipta beberapa album pertama dari Homicide,Pure Saturday,Runtah,Jasad,Soni
c Torment,CloseMinded,Fable dan banyak lagi, namun Reverse juga berperan sebagai toko clothing yang menjual beberapa merchandise band lokal yang sangat membantu finansial band itu sendiri, maka inilah pick up point pertama dimana term “ Do It Yourself “ berawal, Helvi mulai memperkenalkan sistem independent ( mandiri ) yang berarti mengerjakan segala sesuatu sendiri, seperti produksi album,mixing album,packaging album,distribusi album sampai promosi album dilakukan oleh sendiri, jika ada kontribusi dari berbagai pihak maka tidak lain adalah intern band itu sendiri, Helvi sendiri hanya membantu dalam hal distribusi selaku owner dari FFWD dan FF CUTS.
Helvi secara tidak langsung telah mempopulerkan istilah independent yang jika diartikan secara harafiah adalah mandiri,bekerja sendiri,merdeka dan tidak terkekang, bila di ambil dari historikal scene yang terbentuk pada awal tahun 90 maka independent adalah “ bentuk pergerakan sekelompok orang terhadap media mainstream yang menolak dan mendiskriditkan karya mereka”, pergerakan itu sendiri berupa sistem swadaya kooperasi dengan memanfaatkan pertemanan, sistem penyebarannya pun masih konservatif berupa flyer,zines,jurnal local dan mouth to mouth, distribusi informasi sangat mengandalkan sumber daya koneksi dan relasi.
Berbagai Newsletters dan zines seperti 13 Zines (Arian 13),Submissive Riot( Pam Runtah ) dan Brainwashed seakan menjadi central point informasi di kala itu, untuk menjalin pertemanan menjaring relasi dan pengorganisasian scene. Represi pemerintah membuat founder dari scene ini harus memutar otak 7 kali agar tetap bertahan dan tidak musnah diberangus stabilitas orde baru, Barisan depan gardan pedas diisi oleh Homicide,Puppen,Runtah dan Jeruji yang produktif memerdekakan karya mereka dari tekanan pemerintah, movement yang mereka lakukan kerap membuat pemerintah seperti kebakaran jenggot dan berlari tunggang langgang untuk menutupi fakta yang ada.
Selain Helvi maka hadir pula seorang Dadan Ketu tokoh yang paling bertanggung jawab dibalik pergerakan Punk/Hc Bandung, Owner & founder sebuah legend rock shop bernama RIOTIC, musisi gelisah dari band Kontaminasi Kapitalis bersama Pam Runtah.
Dadan adalah seseorang yang selalu geram dan resah, apalagi jika melihat band dengan kualitas seperti Puppen, Blind To See ataupun Runtah tidak ada yang merilisnya, mengutip track ill shurekshun dari Homicide “ Hari ini atau tidak sama sekali “ maka Dadan pun tidak ada pilihan lain selain mendirikan indie Label bernama Riotic Records dengan beberapa rilisan pertama dari band yang banyak dicari oleh pemerintah pada saat itu seperti Blind To See,Homicide,Runtah ataupun berbagai kompilasi berbahaya seperti “ Bandung’s Burning “ ( punk compilation) with : Keparat,Turtle jr,Runtah,Jeruji, “ Strike Hard “ ( Hardcore Compilation ) with : Balcony,Blind To See dan juga “ Brain Beverages “ with : Homicide,Balcony. Dadan juga adalah orang yang paling bertanggug jawab dengan riuh semaraknya Gor Saparua pada tahun 90, Gorong-gorong 1&2, Punk Rock Party 1&2 adalah event masterpiece dari seorang Dadan Ketu, Saparua pun selau berdetak dan berdenyut dibuatnya, Saparua adalah arena melepas resah anak muda Bandung, rutinitas setiap minggu dengan hadir di Saparua moshing dan sing a long bersama adalah prestise termewah yang tidak akan tergantikan lagi, karena kini Saparua hanya kokoh berdiri namun malu untuk unjuk diri.
Live in 1990
Geliat ini mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 90 ketika videoklip “ Kosong “ dari album pertama Pure Saturday muncul di salah satu televisi nasional, berbarengan dengan suksesnya album “ 4 through to the sap dan in (no) sensation“ dari Pas Band, garangnya anthem hardcore “ Not A Pup & MK II “ dari Puppen, berbagai rilisan album seperti dari Cherry Bombshell,Close Minded dan Sendal Jepit. Bahkan sebuah album legendaris melengkapi memori indah betapa jujurnya tahun 90 “ MasaIndahBangetSekaliPisan “ adalah everlasting release dengan partisipasi dari Puppen,Full Of Hate,Balcony,Cherry Bombshell,Rotten To The Core dan Sendal Jepit, mereka semua adalah 90’s scene heroes sebagian dari pengisi kompilasi kini hanya menjadi bagian dari sejarah, namun mereka tidak stuck begitu saja beberapa dari mereka tetap move on seperti Arian Arifin Puppen atau lebih dikenal dengan Arian 13 kini menjadi leader dari sebuah band heavy southern octane rock it called Seringai dan juga sebagai Music Editor di Trax Magazine Jakarta, sedangkan Arief Maskom Full Of Hate memilih berniaga dengan mendirikan independent store ( distro ) Ouval Research yang dia sendiri tidak percaya menjadi besar seperti saat ini.
Pada awal tahun 1996 Scene Jakarta pun seakan tidak mau kalah dengan bermunculannya rilisan album dari Tengkorak,Rotor,Sucker Head,Getah,Rumah Sakit,Pestol Aer dan Waiting Room. MTV Headbangersball muncul sebagai anti tesis dari acara mainstream seperti “ berpacu dengan melodi “ dan sejenisnya, bahkan MTV alternative nation seakan menjadi pahlawan yang memanjakan birahi anak muda yang sedang gandrung dengan segala hal berbau kumal,belel dan urakan, selayaknya anthem anti kemapanan Smells Like Teen Spirit dari album Nevermind nya Nirvana melengkapi keindahan betapa cult nya tahun 90.
Puncak sekaligus redupnya Grunge
Kemeja flannel lusuh,Converse belel,t-shirt Alice In Chains ataupun Stone Temple Pilots yang sudah mulai luntur warnanya menjadi hip style kebangaan di tahun 90, bersenandung ria dengan mendengarkan lagu smashing pumpkins era Siamese dreams sambil melirik jijik kepada siapapun yang berpakaian menor ala Guns N Roses.
Kebencian para anak muda di tahun 1990 dengan invasi Glam rock yang dipopulerkan oleh Bon Jovi,Motley Crue,Poison dan Guns N Roses yang berdandan layaknya shemale Taman Lawang membawa syal dan koteka serta legging warna warni keliling panggung ala Freddy Mercury membuat mereka muak dan muntah, Bombardir media lah yang membuat mereka tidak punya pilihan untuk memilih, maka Grunge menjadi pilihan hidup mewakili alienasi rutinitas keseharian dan kehidupan mereka, frustrasi,satir,broken home dan ironis adalah kata tengah dari grunge dan tahun 1990.
Beberapa tahun setelah almarhum Kurt Cobain meninggal dunia diadakanlah surga perhelatan kesenangan bagi anak muda Indonesia di tahun 1990 yang tidak akan pernah terulang lagi untuk selamanya. There was Jakarta Alternative Nation dengan line up Sonic Youth,Foo Fighters dan Beastie Boys berbagi panggung dengan Pas Band dan Netral, kalian bisa menyaksikan betapa hip dan solidnya nya scene pada kala itu, kalian akan tecengang dan terbius dengan nada canggung melopopdramatic Thorstoon Moore dari Sonic Youth, nyeleneh dan usilnya Bagus Netral di panggung, musisi gondrong 2 jaman Dave Grohl Foo Fighters, chaos nya Jakarta dibuat berdentam oleh shaky politic beat hop dari Beastie Boys atau gagah dan beringasnya Yuki Pas Band jauh sebelum ketika saat ini dia malah produktif membuat lagu lagu cinta pegantar tidur anak remaja, indahnya hegemoni musik dan persepsi di tahun 90 tidak akan pernah terulang lagi dan hanya akan menjadi everlasting histori saja, sebab apapun yang terlalu diekspos secara besar-besaran hanya akan berakhir sebagai cerita lalu, begitu pula yang terjadi dengan grunge, seperti ucapan Eddie Vedder Pearl Jam di salah satu jurnal musik luar negeri “ When commerce is involved, everything changes “.
Independent nowadays
Eksploitasi media yang berlebihan telah mementahkan semua usaha yang dibangun selama 20 tahun oleh para founder scene ini menjadi sia sia dan murahan, rutinitas yang seharusnya ringan dan fun dijadikan kapital segar oleh para cukong cukong bisnis yang gesit melihat peluang pasar. Akhirnya sub kultur ini berkembang menjadi komoditi bisnis yang memalukan, semuanya menjadi sell out dan tidak ekslusif lagi, prestise yang kita banggakan selama ini pudar oleh rentannya krisis kualitas, segala idiom yang mengandung istilah indie dianggap keren dan cool, bahkan kini bertebaran istilah aduhai yang sangat menjijikan sekali didengarnya seperti indie couple,indie hair ataupun indie kiss, bemunculannya kompetisi yang mengatasnamakan indie competition namun band yang dihasilkannya ternyata tak lain adalah pengisi latar beberapa sinetron malam yang syahdu dan menghanyutkan, tak ayal bernada minor dan melayu menjadi klasifikasi dari independent, tradisi ini kini menjadi konyol dan membusuk, segmentasi yang diperkenalkan pun tidak relevan dengan roots yang sudah ada sejak beberapa puluh tahun yang lalu.
Bukan ini yang diharapkan oleh para founder dari subkultur ini, Alm.Samuel Marudut ( GMR founder ) & Alm Robin Hutagaol ( Sucker Head & Noxa ) tentu tersenyum tipis melihat tendensi yang melenceng jauh dari apa yang mreka cita-citakan dahulu.
Era 2000 sudah jelas adalah sampah dan hype wasted dari gemilangnya tahun 1990, jika ampas ini tidak secepatnya mengalami recycle maka selanjutnya hanya akan menjadi sejarah busuk dan useless.
Hormat dan terima kasih yang sangat dalam saya berikan kepada Seringai,Sore,Mocca,The Milo,Efek Rumah Kaca,The Upstairs dan Polyester Embassy yang telah menyelamatkan scene ini, yang telah memberikan meditasi premier sebagai ancang ancang awal agar scene ini tidak terlalu lama terlelap dan tertidur, bahkan tidak perlu lagi band seperti Mocca harus menciptakan sebuah lagu dari album tebaru mereka “ colours “ yaitu “ Do What You Wanna Do “ tertoreh di dalamnya yang berarti bahwa “ Mocca resah scene ini telah jauh dari roots yang mereka perjuangkan dulu, kecewa dan marah ketika scene ini menjadi terpuruk “ tapi point terpenting dari semua itu adalah bahwa apa yang dikatakan Arina “ Do What You Wanna Do, adalah tetap berkarya dengan arogansi dalam kadar yang tepat dan idealisme dengan takaran yang tepat, karena scene ini adalah kebanggan terhangat bagi siapa saja yang merasa bertanggung jawab dalam part rotasi klasik subkultur ini “.

Sabtu, 24 April 2010

SECANGKIR KOPI JON PAKIR

Temaram gelap dan remang rasanya, jika melihat pengejawantahan yang menggangap bahwa sikap dan ideologi primordialisme cenderung kampungan, sehingga tidak bisa dibawa ke dalam kultur sosialita luhur dan dialektika elit khas cendekiawan angkuh atau para konglomerat kecut. Namun anda akan menemukan akulturasi apik beserta asimilasi santai nan wisdom di sini. Dituangkan langsung oleh “ ilmuwan nyantri dan nyentrik “ dari negeri “ nyantren ndeso “ Yogyakarta. Di sini beliau mencoba bertutur sopan,lembut juga halus khas daerah jawa tengah dimana beliau dilahirkan, namun dia pun bisa menggelitik satir para pembaca dan pada waktu bersamaan menohok sanubari hingga kita meregang terheran heran.

Dalam retorika sosial khas emha ainun nadjib, beliau mencoba berseloroh menganai subtil subtil kehidupan yang jarang dikemas melalui penganalogian tak bernyawa. Kini emha mengemukakan celotehan jumawanya dengan sentral analogi secangkir “ kopi “, bagaimana bisa minuman yang bagi sebagian besar penyair kenamaan sendiri, dianggap sebagai minuman recehan atau endapan nista hitam, yang hanya akan menjadi sumber sublimasi keindahan berbagai prosa dan fragmen khayal romansa.
Namun emha membelalakan kedigjayaan era khayal fantastis imajineri para sastrawan bual, dengan menciptakan kultur rendahan,eceran dan kultur anomali menjadi sebuah paragraf sosial yang hidup dan nyata.

Empati sengau yang dekat dengan kehidupan kita, elegi merintih para rakyat kecil yang tidak jauh dari dilema sehari hari coba dituturkan oleh emha dengan bahasa “ nyastra “ yang jenaka dan merendah, beliau banyak menyisipkan istilah “ medok ‘ khas daerah jawa tengah, berkomposisi dengan paradoks elitaraian cendekia. Halaman demi halamannya renyah dan tidak bergerilya menggurui, namun persuasi bersahabat akrab.

Gurih,legit dan pas, seperti kopi hangat diselingi pertemanan kue politik serta hidangan budaya yang artistik. Emha sendiri memposisikan diri sebagai rakyat jelata yang ikut bernaung dan bertawakuf bersama-sama, mencermati machiavelisme pemerintah yang semakin “ edan tenan “, dengan kentara membeberkan sistemik tiran kepada proletar.

Sentimentil hiruk pikuk negeri habis digelitik oleh emha, seperti misalnya bagaimana riuh rendahnya perbulu tangkisan Indonesia coba diaduk lahap emha, atau kisruh meriam bellina yang kontroversi pada saat itu, dibumbui oleh emha dengan penyedap harum namun pedas, juga oplah opera pesantren yang coba diangkat emha sehingga terpapar lembut dan sejuk bertekstur, tidak keras atau bahkan teresensikan martir dan pembelot, emha cerdas mengakali pesan per bait dari drama khas pesantren ini dan mengangkatnya menjadi kopi hitam hangat yang beraroma dan sendu.

Keabsahan warga Negara Indonesia yang kerap kali tersandung permasalahan birokrasi, dicukil resah oleh emha dengan cara yang atraktif namun komunikatif, berbagai kebodohan aparat negeri dan pegawai negeri yang kerap kali membelotkan kewenangan mereka agar mendapat fee lebih, dibahas gamblang namun santun bertegur, bersoloroh santai layaknya “ nyantai “ kopi hangat di sore hari.

Ilmuwan jombang nan kondang ini, lembut menyeruput semua keadaan rakyat Indonesia dengan sederhana dan legit layaknya kopi hitam warung rakyat, kelakarnya menambah hina cendekiawan yang bertengger di atas peraduan hormat tanpa asa,iba ataupun malu kepada “ wong cilik “, klasifikasi pembaca pun tidak muluk dan sanjung, bagaimana nikmatnya kenakalan bait resah Emha dapat diterima dan dibaca oleh kalangan manapun, termasuk anda yang merasa bahwa Emha adalah hanya budayawan tidak berkelas.

( Riyadhus Shalihin )

Rabu, 21 April 2010

MEMETAKAN PRODUKTIFITAS PERS KAMPUS TANPA BANTUAN DARI LEMBAGA/INSTITUSI

Gejala terhambatnya produktifitas kampus dan movement yang stagnan, kerap terjadi akibat ekspektasi dan harapan yang terlalu muluk kepada lembaga yang menaungi kita, timbal balik dari aksi dan kreasi tidak usah dimanipulir dengan berbagai harapan yang tidak kunjung datang, aktivitas dan produktifitas acapkali terganggu akibat masalah sepele dan klise, seperti tidak adanya dana, tidak adanya fasilitas ataupun tidak ada support dari lembaga, berkarya tetap harus berjalan tanpa harus berlarut tenggelam dalam tetek bengek basi yang hanya berngiang di harapan dan angan saja.
Motivasi diri yang telah terpatri adalah salah satu hal yang membuat ukm pers mahasiswa tetap bertahan, terapi pribadi untuk mereduksi angan yang jauh dari kenyataan, jangan pernah mau menyerah dengan keadaan mungkin itulah pick up point yang ingin disampaikan oleh Redian Tendiana, pemimpin redaksi pers mahasiswa Stikom Bandung, ketika ditanya perihal wacana yang tengah berkembang saat ini yaitu ketimpangan fasilitas ukm yang terjadi di Stikom Bandung, “ Kita tidak pernah meminta bantuan dari lembaga, bukan berarti kita tidak membutuhkan asimilasi dari kampus untuk membantu kita, karena seharusnya lembaga memperhatikan kebutuhan dari ukm itu sendiri, apalagi yang telah banyak mengharumkan nama kampus, jika dilihat dari produktifitas anggotanya yang aktif tampil mengisi berbagai berita maupun artikel di berbagai media lokal maupun media nasional “, ucapnya tegas.
Aktualisasi prestasi bukanlah omong kosong belaka, ketika kolektif finansial team I Rostrum Media Indonesia, pers mahasiswa Stikom Bandung, terkumpul menjadi modal awal untuk menerbitkan kembali majalah kampus GERBANG, fakta ini mengkritisi secara tajam bagaimana lembaga tidak memperhatikan kegiatan dan juga aktivitas yang dikerjakan oleh Pers Mahasiswa selama ini, minimnya dana tidak menghambat nalar kreativitas berkegiatan. Melihat subur dan pesatnya perkembangan pers mahasiswa di kampus lain, walau jika dilihat dari kaca mata dan analisa aktivitas prestasinya yang kurang begitu produktif mengharumkan nama kampus, namun didukung secara total dan menyeluruh oleh lembaga dan dengan sadar memenuhi berbagai suplemen yang dibutuhkan oleh ukm itu.
Kolektif teamwork adalah satu-satunya kekuatan yang dimiliki Pers Mahasiswa Stikom Bandung saat ini, karena kenyataan dan harapan yang selalu berbanding terbalik maka menyadarkan kita untuk tetap berjalan dengan fasilitas yang minim dan alokasi dana yang rentan, wacana ini memberikan tamparan balik kepada kita untuk tetap gigih berkarya walau tanpa adanya kooperasi dan kooptasi lembaga, kita tidak akan terhambat di tempat apalagi berhenti walau untuk sesaat.
Tunjukkan dan tunjukkan tanpa mengharapakan balasan menjadi ideologi penghibur tersendiri bagi kami yang lelah berkeluh kesah menanti asa, perihal tendensi lembaga yang tidak memperhatikan ukm Pers Mahasiswa tentu menimbulkan kecemburuan asosiasi tersendiri, Redian Tendina menanggapi hal ini “ wajar, apabila kita sebagai salah satu ukm yang masih resmi terdaftar cemburu melihat ketimpangan perhatian dari kampus yang kurang memperhatikan ukm berhaluan Jurnalistik, tapi jika hanya cemburu dan mendendam berdiam, itu hanya akan membuat kreatifitas kita terhambat dan berhenti, lebih baik bebaskan bersikap dan lanjutkan langkah, terus bergerak dan tetap berkarya “ ucapnya yang juga merupakan wartawan lepas salah satu media cetak lokal Bandung. Harapan tentu masih tersisa, “ dalam waktu dekat ini kami ingin realisasi dari lembaga untuk pengadaan beberapa fasilitas kecil yang tidak terlau merugikan finansial pihak kampus seperti tape recorder yang tentunya sangat dibutuhkan oleh wartawan manapun, dan juga ruang representatif untuk mendukung kerja kami agar lebih efektif “ , ucap Redian Tendiana.
Terlepas dari itu pers mahasiswa tidak ingin menunggu berlarut hingga terjadi kekosongan kegiatan ataupun acara, pers mahasiswa terus berkreasi dan berinovasi seperti salah satu kegiatan mendatang yang akan diadakan adalah “Workshop Jurnalistik” dan “Lomba Penulisan Artikel” dengan mengundang seluruh Pers Mahasiswa Bandung dengan tujuan untuk memperluas jaringan dan koneksi informasi, acara ini akan segera direalisasi setelah penerbitan Gerbang edisi pertama dirilis.
Gerbang edisi pertama menjadi awal movement nyata intern kampus, setelah beberapa waktu yang lalu harus berkutat di depan media yang kurang pantas juga jika disebut sebagai majalah dinding, terserah anda mengkategorikan itu sebagai apa, namun setelah cetakan pertama Gerbang rampung dirilis, kami akan jadikan ini sebagai tolak ukur pertama menunggu bagaimana langkah yang akan diambil selanjutnya oleh lembaga.
Langkah nyata ini membuat kami tetap yakin dengan apa yang kita jalani bagaimanapun juga akan membuahkan hasil, berapapun terjalnya deskriditas yang diberikan lembaga namun kami akan terus bergerak dan berkarya, mengutip ucapan dari Pemimpin Redaksi Pers Mahasiswa Bandung, yang akan saya jadikan quotes akhir “ Keterbatasan alat dan biaya tidak akan mengentikan kita untuk berhenti berkarya”, ucapnya serius menguatkan denyut kami untuk tetap menulis dan menulis.