Sabtu, 24 April 2010

SECANGKIR KOPI JON PAKIR

Temaram gelap dan remang rasanya, jika melihat pengejawantahan yang menggangap bahwa sikap dan ideologi primordialisme cenderung kampungan, sehingga tidak bisa dibawa ke dalam kultur sosialita luhur dan dialektika elit khas cendekiawan angkuh atau para konglomerat kecut. Namun anda akan menemukan akulturasi apik beserta asimilasi santai nan wisdom di sini. Dituangkan langsung oleh “ ilmuwan nyantri dan nyentrik “ dari negeri “ nyantren ndeso “ Yogyakarta. Di sini beliau mencoba bertutur sopan,lembut juga halus khas daerah jawa tengah dimana beliau dilahirkan, namun dia pun bisa menggelitik satir para pembaca dan pada waktu bersamaan menohok sanubari hingga kita meregang terheran heran.

Dalam retorika sosial khas emha ainun nadjib, beliau mencoba berseloroh menganai subtil subtil kehidupan yang jarang dikemas melalui penganalogian tak bernyawa. Kini emha mengemukakan celotehan jumawanya dengan sentral analogi secangkir “ kopi “, bagaimana bisa minuman yang bagi sebagian besar penyair kenamaan sendiri, dianggap sebagai minuman recehan atau endapan nista hitam, yang hanya akan menjadi sumber sublimasi keindahan berbagai prosa dan fragmen khayal romansa.
Namun emha membelalakan kedigjayaan era khayal fantastis imajineri para sastrawan bual, dengan menciptakan kultur rendahan,eceran dan kultur anomali menjadi sebuah paragraf sosial yang hidup dan nyata.

Empati sengau yang dekat dengan kehidupan kita, elegi merintih para rakyat kecil yang tidak jauh dari dilema sehari hari coba dituturkan oleh emha dengan bahasa “ nyastra “ yang jenaka dan merendah, beliau banyak menyisipkan istilah “ medok ‘ khas daerah jawa tengah, berkomposisi dengan paradoks elitaraian cendekia. Halaman demi halamannya renyah dan tidak bergerilya menggurui, namun persuasi bersahabat akrab.

Gurih,legit dan pas, seperti kopi hangat diselingi pertemanan kue politik serta hidangan budaya yang artistik. Emha sendiri memposisikan diri sebagai rakyat jelata yang ikut bernaung dan bertawakuf bersama-sama, mencermati machiavelisme pemerintah yang semakin “ edan tenan “, dengan kentara membeberkan sistemik tiran kepada proletar.

Sentimentil hiruk pikuk negeri habis digelitik oleh emha, seperti misalnya bagaimana riuh rendahnya perbulu tangkisan Indonesia coba diaduk lahap emha, atau kisruh meriam bellina yang kontroversi pada saat itu, dibumbui oleh emha dengan penyedap harum namun pedas, juga oplah opera pesantren yang coba diangkat emha sehingga terpapar lembut dan sejuk bertekstur, tidak keras atau bahkan teresensikan martir dan pembelot, emha cerdas mengakali pesan per bait dari drama khas pesantren ini dan mengangkatnya menjadi kopi hitam hangat yang beraroma dan sendu.

Keabsahan warga Negara Indonesia yang kerap kali tersandung permasalahan birokrasi, dicukil resah oleh emha dengan cara yang atraktif namun komunikatif, berbagai kebodohan aparat negeri dan pegawai negeri yang kerap kali membelotkan kewenangan mereka agar mendapat fee lebih, dibahas gamblang namun santun bertegur, bersoloroh santai layaknya “ nyantai “ kopi hangat di sore hari.

Ilmuwan jombang nan kondang ini, lembut menyeruput semua keadaan rakyat Indonesia dengan sederhana dan legit layaknya kopi hitam warung rakyat, kelakarnya menambah hina cendekiawan yang bertengger di atas peraduan hormat tanpa asa,iba ataupun malu kepada “ wong cilik “, klasifikasi pembaca pun tidak muluk dan sanjung, bagaimana nikmatnya kenakalan bait resah Emha dapat diterima dan dibaca oleh kalangan manapun, termasuk anda yang merasa bahwa Emha adalah hanya budayawan tidak berkelas.

( Riyadhus Shalihin )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar